LITTLE SHOP OF HORRORS
Asupan horor hadir dalam kemasan di toko mainan untuk kehidupan.
Foto: Dokumentasi Pribadi & Stephanie Mamonto
Tiga orang perempuan berjalan beriringan pada sebuah gang di Koganecho, Yokohama, mengenakan topeng yang terinspirasi dari karakter monster Jepang dan tudung yang berasal dari kain iridescent lame di atas kepala mereka. Ketiganya melantunkan Kagome-Kagome, lagu dari permainan kanak-kanak tradisional di Jepang, menimbulkan suasana mistis yang makin terbangun lewat kostum ketiganya yang berwarna serba putih. Mereka adalah Natasha Gabriella Tontey, seniman Indonesia yang kini menetap di Yogyakarta dan Sonotanotanpenz, duo musisi Hitomi Itamura dan Hitomi Moriwaki asal Fukuoka, yang khusus diajak Natasha berkolaborasi dalam proyek seninya, ‘Little Shop of Horrors’, sebagai bagian dari program residensi Koganecho Bazaar 2015 di Yokohama, Jepang.
SILUMAN KUCING DAN BONEKA BAYI
Melalui kolaborasi pertunjukan tersebut, Natasha dan Sonotanotanpenz, yang baru-baru ini datang ke Jakarta dan menggelar konser mereka di Jaya Pub, bergantian melantunkan kisah-kisah hantu tradisional Jepang dan kehidupan sehari-hari, yang berkelindan di antara dunia khayal dan nyata. Natasha bernyanyi dengan bahasa Jepang sedangkan Sonotanotanpenz dengan bahasa Indonesia.
Lantunan kisah-kisah tersebut, dimulai dari kisah Ayakashi, Kosodate Yurei, dan Bakeneko Yūjo yang ditulis oleh Natasha, lalu ditutup dengan lagu Indoneshia, yang kebetulan sekali diciptakan oleh Sonotanotanpenz, bahkan sebelum mereka saling mengenal dan memutuskan untuk berkolaborasi. “Kami saling merespon karya dan apa yang ada dengan metode object mistification, yaitu mencampuradukkan fiksi, sejarah, imajinasi, dan mitos,” tutur Natasha.
Kisah-kisah tersebut merupakan sekelumit buah imajinasi seniman yang karya-karyanya banyak mengeksplorasi rasa takut untuk merespon tema besar dari Koganecho Bazaar 2015 yaitu ‘Art Together with the Town’. Semuanya diceritakan Natasha lewat mainan-mainan yang terkemas rapi dan dijual di toko khayalannya. Salah satunya, kisah mengenai Bakeneko Yūjo, alat untuk mendeteksi apakah Yūjo, pekerja seks komersial yang ada di Koganecho adalah siluman kucing atau bukan.
Kisah lainnya bercerita tentang koleksi ratusan boneka bayi yang ditemukan di sebuah rumah tak terurus dekat pemakaman milik seorang janda dengan gangguan mental karena ia tak bisa memiliki anak semasa hidupnya. Ia ditemukan meninggal di tempat tidurnya dikelilingi ratusan koleksinya tersebut dan hantunya hingga kini dipercaya masih gentayangan sambil menggendong boneka-boneka bayi miliknya dan berteriak pada masyarakat setempat bahwa mereka harus memiliki keturunan.
HOROR TRADISIONAL DALAM TOKO MAINAN
Seni kolaborasi pertunjukan dan kisah-kisah horor yang gelap namun imajinatif tersebut merupakan bagian dari ‘Little Shop of Horrors’, toko mainan yang Natasha bangun di bawah rel kereta api Keikyu, yang terletak di seberang Sungai Ooka, Yokohama dan dulunya merupakan area prostitusi. “Melalui ‘Little Shop of Horrors’, saya mencoba untuk mengumpulkan ketakutan-ketakutan yang dihadapi dan dimiliki masyarakat setempat serta masyarakat Jepang pada umumnya,” ungkap Natasha.
Data-data tersebut ia gabungkan dengan cerita horor tradisional Jepang dan pengalaman kesehariannya dan merespon situasi setempat selama residensi di Koganecho Bazaar, sehingga menjadi cerita baru. Selanjutnya, kisah-kisah yang ia ciptakan tersebut dipresentasikan dalam karyanya yang berbentuk toko mainan. Semua mainan dapat dibeli namun para pengunjung tidak dapat melihat isinya. “Mereka hanya dapat melihat cerita-ceritanya saja yang ditempel pada kemasan mainan tersebut. Saya menjual ketakutan-ketakutan tersebut dalam bentuk mainan,” ungkapnya.
Pada ‘Little Shop of Horrors’, Natasha mengubah pengalaman akan rasa takut kolektif dan individual menjadi sebuah toko. Meski kolaborasi penampilannya dengan Sonotanotanpenz ia bawakan dengan bahasa Jepang serta desain topeng dan kostum yang cenderung lucu dan kekanak-kanakan, nuansa seram tetap terbangun. Terbukti, sensasi horor bisa ditimbulkan lewat sesuatu yang sama sekali tidak bersifat horor.
Natasha pun merancang sendiri topeng dan kostum yang mereka kenakan, sebagai alat pembeda antara realitas dan fiksi. Melalui topeng dan kostum tersebut, ia memanipulasi kenyataan ke dalam imajinasi karena horor itu sendiri, yang dipercaya sebagai perasaan tidak menyenangkan yang sulit dideskripsikan dan ditimbulkan oleh kepercayaan seseorang atau sesuatu yang berbahaya, merupakan hal universal.
Ikon dan gagasan horor yang dimiliki oleh kedua negara, Indonesia dan Jepang, seperti perempuan bergaun putih dan berambut panjang serta mitos dan takhayul yang masih diyakini di era modern ini memiliki kemiripan satu sama lain. Selain mempertanyakan ketakutan terbesar masyarakat di area Koganecho-Hinodecho dan Jepang, ‘Little Shop of Horrors’ juga berusaha menggali bagaimana rasa takut tersebut menyatu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan bagaimana mereka menghadapinya.
Dapatkah rasa takut yang selalu diabaikan berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan namun penuh ironi? Melalui ‘Little Shop of Horrors’, Natasha memutarbalikkan horor yang ia kumpulkan dan menyajikannya kembali lewat cara yang tak terduga: sebuah toko khayalan yang bertujuan untuk menenangkan ketakutan warga akan ketakutan mereka sendiri.